Ada beberapa teknologi pertanian organik yang sudah biasa dipraktekkan oleh para petani organik baik di negara luar maupun di Indonesia. Teknologi tersebut antara lain :
Kehidupan berawal dari bibit atau benih dan bibit itu adalah kehidupan. Dalam bibit terdapat gen pembawa keturunan. Kita tidak bisa membayangkan bila bibit telah punah maka keberlanjutan bumi ini akan berhenti. Para ahli memprediksi bahwa terdapat lebih kurang 30 juta spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Namun seiring dengan perkembangan manusia yang selalu ditandai dengan watak ketamakan dan keserakahan, maka diperkirakan terjadi pemusnahan spesies tumbuh-tumbuhan sebesar 1000. Hal ini khususnya terjadi di negara-negara dimana pemerintahannya tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan. Maka dengan demikian pada tahun 2000, seperempat dari spesies tersebut telah hilang. Kita tidak bisa membayangkan berapa kerugian yang harus dibayar untuk memulihkannya.
Ada pepatah orang bijak mengatakan “siapa pemilik bibit dia adalah pemilik kehidupan”. Ada muatan idiologis yang terkandung dari pepatah ini. Roh yang menggerakkan kehidupan itu berasal dari bibit. Dalam kaitan ini, aktivitas pertanian tidak bisa terlepas dari bibit. Tanah dan bibit sama-sama memegang peranan penting untuk usaha pertanian. Akan tetapi bisa kita refleksikan potret dunia pertanian kita, sebagian besar petani tidak lagi memiliki bibit. Inilah salah satu dari dampak negatif dari Revolusi Hijau.
Modernisasi pertanian dengan dalil untuk mengatasi kelaparan dan kemiskinan akhirnya meminggirkan bibit-bibit lokal milik petani. Hati kita masih cukup terluka ketika rezim “Soeharto” berkuasa, petani menjadi alat pendukung utama orde baru. Pemaksaan menanam bibit unggul khususnya padi telah mengakibatkan hilangnya bibit padi kita sekitar 8.000 spesies dan saat ini menjadi milik IRRI.
Melihat betapa bibit memiliki fungsi yang amat strategis dan tidak bisa dipisahkan dari usaha pertanian, maka solidaritas petani untuk melestarikan bibit lokal amat mendesak untuk dilakukan. Apalagi bila kita cermati trend pertanian di masa perdagangan bebas, perusahan-perusahaan multinasional yang umumnya dipelopori oleh AS akan semakin gencar mencuri bibit-bibit lokal. Methodanya sangat sederhana, petani diprovokasi untuk menanam bibit hibrida atau modifikasi genetik. Gencarnya kampanye maupun demonstrasi penanaman sampai menyediakan tenaga penyuluh biasanya cukup efektif merubah pola pikir petani. Semua perusahaan-perusahaan TNC pintar betul memahami karakter petani kita yang sangat labil dan tidak memiliki idiologi yang kuat.
Upaya mendorong sektor pertanian menjadi sektor komersial lewat management agribisnis membuat petani meninggalkan budaya pertanian yang dimilikinya sebelumnya.
Kalau kita melihat kecenderungan pola konsumsi petani saat ini, maka tidak ada perbedaan yang mencolok dengan pola konsumsi dengan masyarakat di kota. Petani atau orang-orang yang dekat dengan dunia pertanian lebih menyukai jenis-jenis makanan dari luar yang ada hubungannya dengan perusahaan-perusahaan besar seperti KFC, Mcdonal, Coca-Cola, Pizza Hut, dan lain-lain.
Maka sangatlah mengherankan orang-orang desa saat ini lebih menyukai ayam broiler daripada ayam kampung. Dengan demikian animo mereka untuk memelihara ayam kampung/buras juga sangat rendah. Fenomena lain, kalau musim panen tiba misalnya padi, semua padi dijual sampai-sampai belum dinikmati oleh keluarga. Dalam banyak kasus, petani-petani seperti itu akhirnya harus membeli beras kualitas rendah untuk kebutuhan sehari-hari. Ini merupakan contoh, betapa hegemoni uang menjadi bagian yang paling menonjol dari sisi kehidupan kita.
Padahal idealnya pertanian itu adalah budaya. Haram kalau motif-motif ekonomi atau mencari untung semata yang mendorong usaha pertanian itu. Prinsip yang paling dasar adalah bagaimana memproduksi makanan untuk kebutuhan sendiri dan keluarga petani (self sufficiency). Kemudian kalau ada surplus baru dijual untuk memenuhi kebutuhan lain. Petani yang berdaulat adalah petani yang berdaulat secara pangan. Petani yang berdaulat secara pangan adalah petani yang mandiri dan kuat. Hanya petani yang seperti inilah yang mampu mendorong terjadinya perubahan sosial lewat gerakan sosial (social movement).
Memproduksi bibit sendiri oleh petani adalah salah satu langkah menuju petani yang mandiri. Kalau saat ini perusahaan-perusahaan yang memproduksi bibit gencar melakukan demontrasi pertanian yang diikuti dengan tingginya penggunaan pupuk kimia, pestisida, fungisida dan bahan-bahan kimia lainnya maka petani harus melawannya dengan tidak membeli produk sama sekali. Ada beberapa kelemahan bila petani terjebak membeli atau menanam bibit-bibit komersial :
1. Tidak dapat dipercaya dan kualitasnya rendah
Sebagian besar petani yang merasakan pengalaman pahit ketika mereka membeli bibit komersial. Disamping kualitasnya rendah kadang-kadang tidak benar. Misalnya petani membeli bibit kol akan tetapi setelah ditanam ternyata yang tumbuh sawi. Petani juga menderita karena bibit terlambat tumbuh, hasil panen rendah, terkontaminasi penyakit, kadaluarsa, banyak yang busuk dan lain-lain.
2. Kemampuan adaptasi rendah
Kemampuan adaptasi suatu bibit tanaman adalah sangat penting pada pertanian ekologis. Sebagian besar bibit hibrida (F1) memiliki kemampuan adaptasi yang sangat rendah. Bibit hibrida dikembangkan pada badan-badan penelitian atau perusahan pertanian yang memproduksinya. Kedua organisasi ini sama-sama menggunakan perangsang perkembangbiakan dengan menggunakan bahan-bahan kimia pertanian. Mereka tidak pernah menaruh perhatian terhadap pupuk organik sehingga sifat dari bibit yang diproduksi telah berubah dan hanya mampu beradaptasi dengan pupuk kimia.
Semua bibit-bibit dapat tumbuh dengan baik pada kondisi yang tidak sebenarnya (artificial) pada beberapa generasi. Oleh karena itu, jika petani menanamnya sebagian besar bibit tidak akan tumbuh atau rusak karena rendahnya adaptasi apalagi menggunakan pupuk organik. Sebagian besar bibit-bibit komersial saat ini berasal dari perusahaan-perusahan besar dari AS, Jepang, Jerman, dimana iklimnya sudah berbeda dengan Indonesia.
3. Harganya Mahal
Harga bibit komersial bagi petani tidaklah murah. Jika dibandingkan dengan bibit local, bibit-bibit hibrida atau komersial lebih mahal sekitar 3 – 5 kali lipat dari harga bibit lokal. Dengan demikian imput yang dibutuhkan untuk usaha pertanian menjadi lebih mahal. Padahal tingginya harga bibit biasanya tidak diikuti dengan tingginya harga hasil panen.
Ketidakadilan ini membuat akan membuat petani semakin tergantung apalagi bibit hibrida biasanya tidak bisa dijadikan bibit lagi. Ironisnya trend ke depan ini, perusahaan-perusahaan besar saat ini sedang bergumul untuk memproduksi bibit bunuh diri untuk semua produk pertanian. Prioritas pertama adalah untuk bibit-bibit yang berkaitan dengan makanan pokok (staple foods) seperti padi, kedelai dan jagung.
4. Persedian terbatas
Logika economi acap kali merugikan petani yang sudah tergantung terhadap bibit komersial. Permainan ekonomi dilakukan secara sengaja untuk meningkatkan harga. Misalnya, petani di dataran tinggi membutuhkan bibit wortel, kol, bunga kol, brocoli. Maka ketika musim tanam tiba, seringkali bibit tersebut amat langka ditemukan di pasar. Bila ada, harganya pun sangat mahal. Hal ini tentu saja menjadi masalah yang serius bagi petani. Kehidupan berasal dari bibit, maka karena terganggunya pasokan bibit maka kehidupan tanaman dan kehidupan petani menjadi terganggu.
Walaupun saat ini petani kurang menyadari betapa pentingnya bibit dalam usaha pertanian, upaya-upaya pelestarian (konservasi) dan perlindungan bibit-bibit lokal sangat penting. Alasan yang paling utama, bibit lokal atau tanaman-tanaman lokal amat memegang peranan penting untuk memperkaya keanekaragaman hayati khususnya pada tanaman pangan. Perusahaan-perusahan multinasional juga amat menyadari betapa pentingnya peranan bibit lokal.
Karena ketika mereka mengembangkan bibit-bibit hibrida atau komersial, mereka amat membutuhkan bibit lokal. Oleh karena itu mereka terus-menerus secara gencar mencari dan mengumpulkan bibit-bibit lokal dari berbagai negara khususnya dari negara-negara tropis. Maka kita tidak bisa membayangkan bagaimana kelak nasib pertanian kita, bila semua bibit yang akan ditanam oleh petani berasal dari hibrida atau perusahaan pertanian.